APRESIASI PUISI INDONESIA
1.
Pengantar
Puisi adalah salah
satu bentuk karya sastra yang berbeda dengan bentuk karya sastra lainnya.
Perbedaannya antara lain terletak pada bahasanya yang jauh lebih padat
dibandingkan dengan bentuk prosa. Dan bentuknya yang dibangun dalam bentuk larik-larik yang berbeda pula
dengan bentuk prosa. Kepadatan bahasanya terlihat dari ungkapan idenya yang
tidak mempergunakan bahasa yang terurai melainkan dengan bahasa yang padu dan
padat. Para pengamat karya sastra sering membedakan kedua bentuk puisi dengan
prosa dengan mengatakan bahwa puisi adalah karangan yang pada bahasany
sedangkan prosa adalah karangan yang terurai bahasanya.
Sebagai
suatu karya sastra, puisi mengandung ide, mengandung gagasan, mengandung pokok
persoalan tertentu yang ingin disampaikan penyairnya. Gagasan itu tertuang
dalam keseluruhan puisi. Sebagai suatu wacan puisi, ia mengandung unsure-unsur
yang mendukungnya yaitu tema dan struktur yang membangun tema itu.
Analisi
puisi adalah analisis yang mengacu pada kegiatan yang menelaah, unsure-unsur
yang membangun karya puisi sehingga menimbulkan kesan dalam tentang gagasan
yang diungkapkannya. Dengan analsis, diharapkan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya akan dapat terungkapkan.
2.
Tujuan Instrksional Umum
Setelah mengapresiasi kaya
sastra, diharapkan siswa mampu menghayati karya sastra sehingga tumbuh
pengertian yang dalam terhadapnya.
3.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari modul ini, anda
diharapkan dapat :
a. Menjelaskan perbedaan antara puisi dengan
prosa sebagai hakikat puisi.
b.
Menjelaskan unsure-unsur yang
membangun puisi
c.
Mengapresiasi puisi yang
ditemukan.
4.
Kegiatan Belajar
4.3
Kegiatan Belajar 3
HAKIKAT
Sebelum anda
mempeljari hakikat puisi, bacala dahulu beberapa puisi yang dihasilkan oleh
para pujangga di bawah ini :
1. Sajak
O, bukannya dalam kata yang rencak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O, pujangga, buang segala kata
Yang kan Cuma
mempermainkan mata
Dan hanya
dibaca selintas lalu
Karena tak
keluar dari sukma
Seperti
matahari mencintai bumi
Memberi sinar
selama-lamanya
Tiada meminta
sesuatu kembali
Haus cintamu
senantiasa
Dari : Madah Kelana
Sanusi
Pane
2. Puisi
Kun fayakun
Saat
penciptaan kedua adalah puisi
Tertimba dari
kehidupan yang kau tangisi
Bumi yang kau
diami, laut yang kau layari
Adalah puisi
Kebun yang
kau tanami, bukit yang kau gunduli
Adalah puisi
Gubuk yang
kau ratapi, gedung yang kau tinggali adalah puisi
Dan dari
setiap tanah yang kau pijak
Sawah-sawah
yang kau bajak
Katakanlah
sajak
Puisi adalah
manisan
Yang terbuat
dari butir-butir kepahitan
Puisi adalah
selling yang megah yang terbuat dari butir-butir hati yang gelisah.
Dari
Dodong Djiwaprada
Dalam:
Laut Biru Langit Biru
3. Dengan
Puisi, Aku……
Dengan puisi
aku bernyanyi
Sampai senja
umurku nanti
Dengan puisi
aku bercinta
Berbatas
cakrawala
(dengan
puisi aku…)
Dengan puisi
aku mengenang
Keabadian
yang akan datang
Dengan puisi
aku menangis
Jarum waktu
bila kejam mengiris
Dengan puisi
aku mengantuk
Napas jarum
yang busuk
Dengan puisi
aku berdoa perkenankanlah kiranya.
Dari
: Buku Tamu Musium Perjuangan
Karya
: Taufik Ismil
Dari ketiga
puisi diatas terlihat sebenarnya apa hakikat puisi. Puisi (1) yang berjudul
sajak, mengatakan bahwa puisi adalah cetusan
sukma, sesuatu yang keluar dari sukma, dari jiwa, dari hati nurani. Puisi yang kedua (2) melibat puisi dari
sudut lain yaitu penghayatan terhadap
alam semesta ciptaan Tuhan ini. Semua yang terbentang adalah puisi yang
mengandung keindahan yang hakiki. Sedangkan puisi ketiga (3) puisi sebagai alat
pengungkapan pikiran dan perasaan atau sebagai alat ekspresi.
Puisi adalah
salah satu bentuk area sastra yang berbeda dengan bentuk karya sastra lainnya,
prosa maupun drama. Perbedaannya terletak pada daya intensifikasi dan
konsentrasi yang lebih tinggi di antara ketiganya. Daya intensifikasi terlihat
pada pilihan katanya, yang menimbulkan
imajinasi yang berkembang konsentrasi
terlihat pada kepadatan bahasa
yang dipergunakannya. Ketiga, puisi diatas dapat saja disajikan dalam bentuk
prosa dan bahasa yang terurai. Tetapi penyajian dalam bentuk prosa jelas akan
menimbulkan kesan yang berbeda dalam bentuk puisi. Artinya, daya intensifikasi
dan konsentrasinya akan berbeda.
h.B. Yasin
dalam bukunya Tiga Penyair dan Daerahnya,
membandingkan puisi dengan prosa ibarat orang yang menari dengan orang yang
berjalan biasa. Seseorang yang menari menggerakkan langkahnya ke kiri. Dan ke
muka, ke belakang dengan penuh irama mengikuti irama musik atau lagu yang
mengiringinya, sedangkan seseorang yang berjalan biasa ia melangkah dengan
ketetapan langkah yang biasa dan mantap. Puisi adalah pemikiran manusia
seluruhnya, manusia dengan pikiran dan persaannya. Kelebihan penyair dari pengarang
prosa ialah bahwa ia menguasai pemakaian kata-kata yang telah usang menjadi
kata yang hidup dan bernyawa.
Bahasa yang
digunakan penyair dalam mengungkapkan penghayatnnya bukan hanya sebagai alat
saja melainkan sekaligus sebagai tujuan pemakaian kata-kata bagi penyair bukan
sekedar mengandung arti, tetap juga mengandung nilai kata-kata bagi penyair
bisa terasa indah, terasa keras halus, menyedihkan membuka semangat baru
ataupun merunthkan jiwanya. Untuk memahami kata-kata yang digunakan penyair, kita
sebagai pembaca tidak cukup hanya memahami artinya secara harafiah melainkan
harus memahaminya secara keseluruhan dengan suasana yang mendukungnya. Itulah nilai rasa yang
digunakan penyair dalam memilih kata-kata di dalam puisi. Kata sakit tidak bisa
begitu saja diganti dengan kata gering, walaupun kedua kata itu sama maknanya,
karena kata itu memiliki nilai rasa yang berbeda bagi penyair.
Kekuatan
puisi terletak pada irama yang mendukungnya. Oleh karena itu, pada dasarnya
puisi adalah karangan sastra untuk didengarkan karena manis idaknya suatu iroma
hanya dapat didengarkan. Hal ini akan sangat jelas terasa pada puisi lisan.
Namun pada puisi tertulis pun dapat dirasakan irama. Irama puisi dibentuk oleh
persamaan bunyi yang kalau dibaca akan menimbulkan rasa irama tertentu di dalam
jiwa. Dalam hal ini bahkan juga ada yang mengatakan bahwa maksud utama puisi
bukan untuk berbicara tetapi untuk berdendang pada pendengarnya (Taringan.5)
Karya sastra
pada dasarnya hanyalah rekaan pengarang semata, yaitu sesuatu yang bukan dunia
nyata (fakta). Fakta kehidupan nyata diangkat ole pengarang ke alam fiksi
melalui daya imajinasi yang tinggi shingga tetap dapat dihayati oleh pembaca
maupun pendengar. Demikian juga halnya dengan puisi. Puisi adalah rekaan
pengarang atau hasil imajinasi pengarang. Karena itu pembaca puisi tidak sama
dengan membaca laporan biasa yang dapat dilihat fakta-fakta dalam kehidupan
nyata diangkat (diletakkan) penyair dalam jaringan keseluruhan dunia fiksi,
dunia rekaan, dunia imajinasi. Perhatikan puisi di bawah ini!
Karangan Bunga
Tiga gadis
kecil
Dalam langkah
malu-malu
Datang ke
Salemba sore itu
Ini dari kami
bertiga
Pita karangan
bunga
Tanda kami
ikut
Bagi kakak
yang ditembak mati slang
(Taufik
Ismail)
Setelah membaca puisi tersebut
seolah-olah kita melihat rekaman peristiwa pada suatu hari di waktu sore.
Tiga anak yang masih kecil melangkah malu-malu sambil membawa karangan bungan
tanda mereka ikut berduka cita terhadap meninggalnya seseorang yang mereka
anggap sebagai kakak mereka. Hanya itukah yang kita terima dari puisi itu sebagai rekaman peristiwa
nyata? Kalau demikian, mengapa tiga gadis yang cuma diungkapkan? Mengapa tidak
tiga orang pemuda, tiga orang tua, tiga orang perwira, dan sebagainya? Banyak
pertanyaan yang terpancing oleh kata-kata akan yang dipergunakan penyair dalam
puisinya? Mungkin hanya suatu fakta, kalau kita akan berhenti sampai di sana,
mungkin juga itu suatu diksi yang mempunyai makna lain di balik makna harfiah
puisi tersebut. Inilah konsentrasi dan intensifikasinya karya puisi.
Di samping kepadatan bahasa, bentuk penyajian puisi berbeda
dengan bentuk penyajian prosa. Puisi
ditulis dalam bentuk larik-larik sedangkan prosa ditulis dalam bentuk karangan biasa,
beralinea atau berparagraf. Perhatikan puisi di bawah ini.
Tutuplah Jendela itu Adikku
Tutuplah jendela itu adikku
angin malam jahat sekali
barangkali membawa debu
nyang menyesakkan nafasmu
Tutuplah jendela itu adikku
Berhentilah dari keinginan
Untuk bermain malam-malam
di luar sangatlah gelap
tapi di sini begitu terang
Tidulah engkau dengan lelap
Adikku sayang
Dari : Sinar Harapan
Perhatikan pula penyajian berikut ini!
“Adikku, tutuplah jendela itu.
Hari sudah larut malam. Angin malam nanti akan menyesakkan nafasmu, karena ia
mungkin membawa debu”.
“Adikku, tutuplah jendela itu.
Hentikan keinginanmu untuk bermain malam-malam. Di luar hari sangat gelap.
Tidurlah engkau adikku sayang”.
Terlihat bahwa kedua jenis
karangan itu ditulis dalam bentuk yang berbeda. Yang satu dalam bentuk puisi
yang lainnya dalam bentuk prosa, walaupun keduanya mengandung isi yang sama.
Dari sudut pemakaian bahasa jelas, bahasa proses lebih banyak menggunakan kata
penghubung dari puisi. Itulah sebabnya mengapa bahasa prosa lebih terurai.
Seorang penyair kadangkala
bermain dengan bentuk. Bagi mereka yang suka bermain dengan bentuk, visualisasi
puisi lebih diutamakan di samping kata-kata sebagai unsur bahasa. Bentuk puisi bahkan mengandung makna
tersendiri di balik makna kata yang dipergunakan. Puisi-puisi seperti itu
terlihat pada puisi Sutardji Calzoum Bahri, Danarto, dan beberapa penyair
lainnya yang termasuk ke dalam penyair tahun 70-an. Perhatikan salah satu bentuk puisi berikut ini!
Tragedi Winka dan Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
winka
winka
winka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ku
ka
ku (Sutardji
Calzoum Bahri)
Perhatikan pula puisi Sutardji
Calzoum Bahri yang berjudul “Q” di bawah ini!
“Q”
!!
!!!
!!!
!! !
!
! a
l i f
! !
1
1
1
a m
! !
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
i i i i i i i i
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
Puisi di atas tanpa kata. Yang
ada hanya tanda seru, aliflammin dan
judul Q. dengan kata alif lam min, pikiran
terarah pada ayat dalam kitab suci Alquran. Dengan demikian pula pikiran juga terangsang pada
huruf “Q” yang kemungkinan berarti
“Alquran”. Lalu tanda menu yang berderet banyak, apa artinya, apa maksudnya?
Tanda perintahkah? Tanda konsentrasikah? Atau tanda lainnya? Semua menimbulkan
tanda tanya. Unsur visualisasi tampak tebih kuat dalam puisi tersebut daripada isinya.
Apakah memang demikian? Kalau puisi itu diperdengarkan, atau dibaca dengan
bersuara, mungkin akan tidak terdengar iramanya, karena dibangun oleh persamaan
bunyi pada kata-kata. Kalau demikian barangkali segi konsentrasi lebih
diutamakan dalam puisi itu.
Bahkan ada puisi yang sama
sekali menolak kata. Puisi yang diutarakan tidak lebih dari sebuah benda saja
tanpa diiringi kata-kata. Perhatikan puisi Danarto di bawah ini.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Puisi tersebut hanya kubus
dengan 6 ruang (kotak) saja. Apa yang ingin disampaikan penyair dalam puisi
tersebut? Jelas analisis terhadap puisi tersebut tidak sama dengan analisanya
puisi biasa yang memakai kata menganalisanya memerlukan cara tertentu, mungkin
melalui teori filsafat, tentang makna ruang, atau tidak dianalisis sama sekali
karena kalau dianalisis pun akan menimbulkan makna ganda yang tidak
berkeputusan.
Banyak puisi- puisi yang
demikian itu, yang timbul pada tahun 70-an. Puisi tersebut dianggap cenderung
kepada lambang-lambang atau mantera. Puisi yang seperti itu dikenal dengan
puisi mbeling atau puisi kontemporer. Apakah puisi yang seperti itu akan dapat
diterima masyarakat pencinta sastra atau tidak, tergantung sepenuhnya kepada
masyarakat yang akan memahaminya. Puisi yang baik adalah puisi yang setiap dibaca,
menimbulkan kesan yang lebih dalam lagi dan langgeng di masyarakat, walaupun
puisi tersebut mempergunakan gaya metafora, yang perlu ditafsirkan lebih jauh
lagi dari makna kata harfiahnya. Misalnya puisi Menuju ke Laut karya Sultan
Takdir Alisyahbana, walaupun puisi tersebut sudat terbit mulai tahun 30-an yang
lalu, tetapi memberi semangat baru bagi yang membacanya. Demikian juga
karya-karya pujangga lainnya seperti Mengawan
karya Amir Hamzah, Padamu Jua dan banyak puisi lainnya.
Contoh:
Menuju Ke Laut
Kami telah meninggalkan engkau tasik yang tenang
tasik yang tenang tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
sebab sekali kami bangun dari mimpi yang nikmat
“ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit
pasir rata berulang dikecup
tebing curam ditantang diserang
dalam bergurau bersama angin
dalam berlomba bersama mega”
sejak itu jiwa gelisah,
selalu berjuang tiada reda
ketenangan lama rasa beku
gunung pelindung rasa penghalang
berontak hati hendak bebas
menyerang segala apa mengadang
Gemuruh berderai kami jauh
terhempas berderai mutiara bercahaya
gegap gempita suara mengerang
dahsyat bahana suara menang
keluh elan gelak silih berganti
pekik dan tampik sambut menyambut
Tetapi betapa sukarnya jalan
badan terhempas kepala tertumbuk
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiada ingin
ketenangan lama tiada diratap
kami telah meninggalkan engkau
tasik yang tenang tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat
Sultan Takdir Alisyahbana
Dari Pembaru
Tasik yang tenang
dalam puisi tersebut bermakna metaforis, yaitu kehidupan masyarakat lama yang
statis, yang tenang yang tak mudah dilanda pengaruh kebudayaan baru. Sedangkan
ombak riak di lautan, adalah metafora untuk kehidupan modern yang penuh dinamika, yang penuh
perjuangan hidup. Dan kata kami mewakili sekelompok masyarakat yang
meninggalkan kehidupan lama yang penuh dengan adat istiadat menuju kehidupan
baru yang penuh tantangan hidup. Jelas puisi tersebut penuh dengan kata-kata
yang bermakna metafora. Namun demikian dapat dicerna maksudnya, tetap dapat
dihayati sampai sekarang oleh pecinta karya sastra. Perhatikan pula puisi Amir Hamzah berikut ini!
Mengawan
Ranggang aku dari padaku mengikuti kawalku
mengawan naik
kotor, terhantar, paduan benda empat perkara
Datang pikiran membentang kenang, membunga
cahaya cuaca lampu, menjadi terang mengilau
lewat lambat aku dan dia, ria tawa, bersedih
suka, berkasih pedih, bagi merpati bersambut mulut
Tersenyum sukma, kasihan serta
Benda mencinta benda…
Naik aku mengawan rahman, mengikuti kawal
membawa warta
Kuat, sayapku, bawakan aku, biar sampai
membadai belai celah tersentuh, dikursi kestur
Amir Hamzah
Nyani Sunyi
Demikian juga dengan puisi di
atas, penuh dengan metafora, tetapi tetap dapat dipahami dan selalu menimbulkan
kesan yang dalam tentang kehidupan manusia.
Dari segi isinya, ada puisi
yang dengan mudah dapat ditangkap maknanya karena puisi tersebut mempergunakan
kata-kata atau rangkaian kata yang dapat ditangkap isinya. Puisi yang seperti itu disebut puisi diafan.
Perhatikan puisi di bawah ini!
Dari Seorang Guru kepada Murid-Muridnya
Apakah yang kupunya anak-anakku
Selain buku dan sedikit ilmu
Sumber pengabdianku kepadamu
Kalau hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua akan bercerita padamu
entang hidupku di rumah tangga
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu reamja
horison yang selalu biru bagiku
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua
Haryanto Andang Jaya
Puisi itu begitu mudah
dipahami maknanya. Makna kelimat begitu jelas dipahami demikian juga makna
keseluruhannya. Tetapi ada juga puisi yang walaupun katanya mudah dipahami
artinya, tetapi sulit dipahami maksudnya. Kata-kata yang digunakan bermakna
abstrak sehingga sulit dipahami. Penyair tampaknya hanya mempermainkan kata-kata
dengan menjajarkan kata-kata tanpa dapat dipahami maknanya. Puisi yang seperti
itu dinamakan puisi hermatis, yaitu
puisi yang sulit dicerna maknanya (maksudnya). Perhatikan pula puisi di bawah ini!
Bumi Pertiwi
Kalau kita tak ingin mati
Tidurlah di bumi pertiwi
Yang sepi
Dari teka teki
G.M. Sihana
Gadis, No. 18 Juli 1980
Apa yang ingin disampaikan
penyair di dalam puisinya? Apa yang dimaksud dengan bumi pertiwi yang sepi dari
teka – teki? Apa pula
hubungannya dengan menghindarkan kematian dengan tidur di bumi pertiwi? Begitu
berbelit makna puisi itu, begitu sulit untuk dicerna. Di samping itu, ada juga
puisi yang walaupun sulit dicerna, tetapi lambat laun menimbulkan kesan
tertentu terhadap isinya. Puisi
yang demikian dinamakan puisi prismatis.
Perhatikan pula puisi berikut ini!
Dalammu
Dalam teriknya panasmu
Dalam gemuruhnya lautan
Dalam sayupnya bintang pari
Dalam nyala kapal-kapal nelayan
Dalam hati perempuan yang suaminya merantau
Dalam petatah petitih
Dalam nyiur kelapa gading yang melambai
Dalam sejarah yang dikuburkan
Dalam gelisahnya Malin Kundang, Anggun nan Tongga,
Rambu Penenan
Ketemui diriku
Upita Agustine, Maret 1976
Dalam Laut Biru Langit Biru, hal 656
Dalam puisi di atas ada
sesuatu yang diungkapkan penyair, walaupun disajikan dalam bentuk yang
demikian. Pada mulanya kita hanyak diajak pada deretan pikiran saja, yang
diakhirnya baru kita temui pada yang dirasakan penyair.
Dari sudut bentuknya, ada
puisi yang dinamakan puisi narasi
yaitu puisi yang memperhatikan unsur-unsur cerita, seperti adanya tokoh, alur, dan latar.
Di samping itu ada juga puisi yang diberi cerita,
tetapi cenderung mengemukakan ide-ide, pikiran dan perasaan penyair. Puisi yang
demikian dinamakan puisi lirik. Ada
pula puisi yang memperhatikan unsur-unsur drama, seperti dialog, puisi tersebut
dinamakan puisi dramatik.
Demikian hakikatnya puisi yang
berbeda dengan bentuk karya sastra lainnya seperti cerpen, bovel maupun drama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar