PENGIMAJIAN, PENGISAHAN,
DAN PELAMBANGAN
Andi Sahtiani Jahrir
Bahasa puisi pada umumnya mempunyai makna konotatif maksudnya mempnyai kemungkinan
banyak tafsiran. Puisi dibangun oleh
kata-kata atau kalimat-kalimat yang suprarasional. Puisi mampu menggugah
bermacam-macam perasaan, misalnya rasa haru, benci, kasihan, marah, mesra dan
sebagainya. Oleh sebaba itu, untuk memahami sebuah puisi dibutuhkan pula
asosiasi perasaan.
1.
Pengimajian
Melalui puisinya seorang penyair ingin memindahkan
pengalamannya kepada orang lain. Apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh
seorang penyair, ingin pula dimiliki oleh orang lain (pembaca). Perasaan gembira dan sedih yang dituangkan dalam
puisinya, bukan hanya ingin diketahui oleh orang lain, melainkan ingin juga
dirasakan oleh orang lain. Begitu juga perasaan dendam, benci, cinta, sedih,
ngeri, marah, dan sebagainya yang tergambar dalam puisinya, ingin supaya juga
dirasakan oleh pembacanya. Penyair berusaha menjadikan semua pengalaman jiwanya
sebagai sesuatu yang semula abstrak
menjadi konkret, sehingga dengan mudah ditangkap pembaca disebut pengimajian (Suharianto, 1981).
Pengimajian ini banyak digunakan oleh penyair, karena pengimajian dianggap sebagai jiwa
puisi. Dengan pengimajian puisi menjadi hidup
dan berjiwa. Puisi yang berjiwa dan hidup tentu dapat memikat pembaca.
Untuk memperkuat pengimajian
atau pencitraan, bermacam-macam unsur
yang digunakan oleh penyair, misalnya dengan menggunakan bermacam-macam simbolik, paradoks, ironi, dan sebaginya. Unsur simbolik yang digunakan oleh
penyair pada dasarnya ada dua macam, yaitu simbolik
konvensional dan simbol yang bersifat pribadi. Simbol
yang konvensional adalah simbol yang sudah diketahui umum, sedangkan simbol
yang bersifat pribadi biasanya lebih sukar. Misalnya, laut bagi Sultan Takdir Alisyahbana disimbolik sebagai perjuangan, sedangkan bagi Sanusi Pane laut disimbolkan sebagai lambang ketenangan.
Perhatikan contoh di bawah ini dan perhatikan penggunaan simbol laut
dalam kedua puisi tersebut.
MENUJU KE LAUT
Kami telah
meninggalkan engkau
Tasik yang
tenang tiada beriak
diteduhi gunung
yang rimbun
dari angin dan
topan
sebab sekali
kami bangun
dari mimpi yang
nikmat
“Ombak ria
berkejar-kejaran
di gelanggang
biru bertepi langit
pasir rata
berulang dikecup
tebing curam
ditantang diserang
dalam bergurau
bersama angin
dalam berlomba
bersama mega”
Sejak itu jiwa
gelisah,
selalu berjuang
tiada reda
ketenangan lama
rasa beku
gunung pelindung
rasa penghalang
berontak hati
hendak bebas
menyerang segala
apa mengadang
Gemuruh berderai
kami jauh
terhempas berderai
mutiara bercahaya
gegap gempita
suara mengerang
dahsyat bahana
suara menang
keluh elan gelak
silih berganti
pekik dan tampik
sambut menyambut
Tetapi betapa
sukarnya jalan
badan terhempas
kepala tertumbuk
hati hancur,
pikiran kusut,
namun kembali
tiada ingin
ketenangan lama
tiada diratap
………………………………
Kami telah
meninggalkan engkau
tasik yang
tenang tiada beriak
diteduhi gunung
yang rimbun
dari angin dan
topan
sebab sekali
kami terbangun
dari mimpi yang
nikmat
(Sultan Takdir
Alisyahbana)
DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa
bidukku perlahan
Dalam kesunyian
malam waktu
Tidak berpawang,
tidak berkawan
Entah ke mana
aku tak tahu.
Jauh di atas
bintang kemilau
Seperti sudah
berabad-abad
Dengan damai
mereka meninjau
Kehidupan bumi
yang kecil amat.
Aku bernyanyi
dengan suara
Seperti bisikan
angin di daun.
Suaraku hilang
dalam udara
Dalam laut yang
beralun-alun.
Alun membawa
bidukku perlahan
Dalam kesunyian
malam waktu
Tidak berpawang
tidak berkawan
Entah ke mana
aku tak tahu.
(Sanusi
Pane)
Simbol
umum yang juga sering digunakan oleh penyair ialah sungai yang mengalir
menyimbolkan perjalanan hidup manusia, tidur memberi simbol kematian, laut
menyimbolkan sesuatu yang tidak terbatas. Namun, simbol umum ini
dapat bergeser artinya sesuai dengan pandangan hidup masing-masing
penyair, dan situasi yang digambarkan, seperti contoh simbol laut di
atas.
Ada bermacam-macam imajinasi
yang digunakan oleh penyair, antara lain :
1)
Imajinasi visual, yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah melihat
sendiri apa yang dikemukakan penyair.
2)
Imajinasi auditory, yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar
sendiri apa yang dikemukakan oleh penyair. Suara dan bunyi yang digunakan
tepat sekali melukiskan hal yang dikemukakan. Onomatope sering digunakan
dalam hal ini, misalnya anjing menggonggong, pipi mencicit.
3)
Imajinasi articulatory, yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca mendengarkan
bunyi-bunyian dengan artikulasi tertentu pada bagian mulut. Waktu kita
membaca puisi, kita seakan-akan melihat gerakan-gerakan mulut membunyikannya
dan dengan sendirinya mulut juga ikut bergerak.
4)
Imajinasi olfaktory, yakni imajinasi penciuman atau pembauan. Dengan
membaca atau mendengar kata-kata tertentu kita seperti mencium bau sesuatu.
Kita mencium bau bunga mawar dengan membaca atau mendengar sesuatu.
5)
Imajinasi gustatory, yaitu imajinasi pencicipan. Dengan membaca atau mendengar
kata-kata atau kalimat tertentu kita seolah-olah mencicipi sesuatu,
misalnya rasa asin, manis, pedas, dan sebagainya.
6)
Imajinasi tactual, yaitu imajinasi rasa kulit yang menyebabkan kita seolah-olah
merasakan sesuatu di kulit, misalnya rasa nyeri, rasa dingin, atau rasa pedih.
7)
Imajinasi kinastetik, yaitu imajinasi gerakan tubuh atau otot yang
menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
8)
Imajinasi organik, yaitu imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti melihat
atau merasakan badan lesu, loyo, lemas, mual, dan sebagainya (BP. Situmorang,
1983).
Lebih lanjut,
cobalah Anda baca puisi di bawah ini dengan sungguh-sungguh.
TURUN MALAM
Sebuah lembah di depan, sungai
menggeliat di perut
Di tepi hutan pinus sejenak kita
istirahat
Ialah biru yang sepotong, awan
menggumpul berkejaran
Gunung benteng terakhir mendukung
senja.
Matahari terbakar dalam api yang sepi
Garis-garis angin mengucapkan selamat
malam
Ke tengah kami tiga regu infanteri
Dalam derap hening akan memasuki
lembah.
Ada bintang mulai
kemerlap membisik cahaya
Sebuah kota di bawah deru kabut yang jauh
Gunung-gunung bergetar panji malam
semakin jelaga
Membiarkan tangan angin pada dahan
meluruh
Seseorang perlahan menyanyikan lagu
republik
Bersandar di cemara, laras senjata
menunjuk langit
Memicingkan mata serta bahu memar
ngembara
Rimba akasia di puncak paling biru.
Kutepuk kini pundakmu, bukti benteng
setia.
Sehabis di punggungmu kami sembahyang
dalam doa.
Ialah langkah merayap malam
penyergapan
Ketika sebutir bintang gemerlap
membisik cahaya.
(Taufik
Ismail, Sajak Ladang Jagung)
Kita tergugah
menggunakan indera batin kita untuk menangkap apa yang diungkapkan oleh puisi
di atas. Kita aktif menggunakan mata kita membayangkan ungkapan-ungkapan yang
dilahirkan penyair. Cobalah Anda rasakan ungkapan Taufik berikut ini :
Sebuah lembah di
depan, sungai menggeliat di perut
Di tepi hutan
pinus sejenak kita istirahat
Ialah biru yang
sepotong, awan menggumpul berkejaran
Gunung benteng
terakhir mendukung senja.
Kita tergugah
menggunakan indera mata kita melihat wujud lembah dan sungai
yang mengalirkan di dasarnya, awan yang bergumpal-gumpal yang saling
berkejaran. Kita dapat membayangkan suasana yang digambarkan penyair, suasana
senja di sebuah lembah dan dekat gunung.
Matahari terbakar
dalam api yang sepi
Garis-garis angin
mengucapkan selamat malam
Ke tengah kami
tiga regu infanteri
Dalam derap hening
akan memasuki lembah
Kita pun seolah-olah
dapat membayangkan suasana pada waktu senja, matahari yang terbakar dalam
api yang sepi, api yang sepi gambaran dan langit yang merah, dan matahari
pun menjadi merah, gambaran saat-saat senja dan derap hening regu infanteri
memasuki lembah.
Kita pun seolah-olah
mendengar bagaimana salah seorang menyanyikan lagu republik secara perlahan,
dan seolah-olah dapat membayangkan. Ia bersandar di pohon cemara sekedar untuk
beristirahat dengan laras senjata menghadap ke atas.
Seseorang perlahan
menyanyikan lagu republik
Bersandar di
cemara, laras senjata menunjuk langit
Kita rasakan, prajurit
ini sudah siap melanjutkan tugasnya (bertempur), sesudah menyatukan tekad dan
berdoa (sembahyang) di punggung bukit tersebut yang merupakan benteng yang setia.
Kita membayangkan gerakan-gerakan mereka dalam penyergapan dengan merayap pada
malam gelap yang hanya disinari oleh sebutir bintang.
Coba Anda perhatikan
bait terakhir ini :
Kutepuk kini
pundakmu, bukti benteng setia
Sehabis di
punggungmu kami sembahyang dalam doa
Ialah langkah
merayap malam penyergapan
Ketika sebutir
bintang gemerlap membisik cahaya
Dengan cara demikian,
penyair tidak hanya sekedar memberikan informasi kepada kita bagaimana
penyergapan di malam hari dan turun malam, tetapi kita diajak dapat
membayangkan, merasakan, atau mendengar apa yang sedang dirasakan dan dilihat
oleh penyair. Kemampuan indria kita tergugah menangkap suatu gambaran atau
lukisan tentang lembah, sungai, langit, matahari, gunung, angin, prajurit, dan
ketika turun malam. Kita tergugah karena Taufik menggunakan kata-kata yang konkret
pula. Cobalah Anda perhatikan penggunaan kata-kata lembah, sungai,
menggeliat, gunung, bergumpal-gumpal awan, matahari, dan sebagainya.
Semua yang terlihat,
terdengar, dan seolah-olah terasakan dalam kehidupan nyata, ini disebut imaji
atau citra.
Selanjutnya, cobalah
Anda baca puisi Amir Hamzah di bawah ini, dan perasaan apa yang timbul di hati
Anda.
Terbuka Bunga
Terbuka
bunga dalam hatiku!
Kembang rindang
disentuh bibir-kesturi-mu
Melayah-layah
menitip restu senyumanmu
Dengan
mengelopaknya bunga ini, layulah bunga
Lampau, kekasihkau
Bunga
sunting-hati-ku, dalam masa mengembara
menanda diriku
Kekasihku! Inikah
bunga sejati yang tiadakah layu?
(Nyanyian
Sunyi, Amir Hamzah, 1959)
Bunga dalam puisi di
atas tentulah bukan arti yang sebenarnya. Terbuka bunga dalam hatiku, tentu
berkaitan dengan perasaan, yaitu perasaan cinta. Cinta dilambangkan
dengan bunga. Cinta yang hanya dapat dirasakan oleh setiap individu, yang
tidak dapat digambarkan secara konkret, maka untuk mengkonkretkannya dilambangkanlah
dengan bunga, benda konkret yang dapat ditangkap oleh indera kita.
Timbul perasaan cinta dalam hati penyair, dalam hal ini lebih dapat kita
rasakan.
Bagaimana seharusnya
perasaan cinta ini digambarkan secara hidup oleh penyair.
Kembang rindang
disentuh bibir-kesturi-mu
Kembang dan rindang, menggambarkan sesuatu yang subur, yang biasa kita lihat dalam
alam nyata. Disentuh bibir-kesturi-mu digambarkan seolah-olah seperti
benda hidup yang mempunyai bibir dan dapat menyenntuh. Melayah-layah
mengintip restu senyumanmu, seolah-olah cinta itu merupakan benda hidup,
yang dapat meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri, dan dapat pula mengintip karena
mempunyai mata. Kata-kata yang digunakan penyair mampu menggugah indera
kita untuk aktif melihat, mendengar, dan merasakan, karena kata-kata
yang digunakan penyair memberikan gambaran yang konkret atau nyata.
Bermacam cara digunakan penyair untuk menjadikan puisi lebih konkret di hati
pembacanya, atau dengan kata lain menumbuhkan imaji dalam diri pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar