Kamis, 20 Agustus 2015

PENGIMAJIAN, PENGISAHAN, DAN PELAMBANGAN



PENGIMAJIAN, PENGISAHAN, DAN PELAMBANGAN

                                                                          Andi Sahtiani Jahrir



Bahasa puisi pada umumnya mempunyai makna konotatif maksudnya mempnyai kemungkinan banyak tafsiran. Puisi dibangun oleh kata-kata atau kalimat-kalimat yang  suprarasional. Puisi mampu menggugah bermacam-macam perasaan, misalnya rasa haru, benci, kasihan, marah, mesra dan sebagainya. Oleh sebaba itu, untuk memahami sebuah puisi dibutuhkan pula asosiasi perasaan.
1.      Pengimajian
Melalui puisinya seorang penyair ingin memindahkan pengalamannya kepada orang lain. Apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh seorang penyair, ingin pula dimiliki oleh orang lain (pembaca). Perasaan gembira dan sedih yang dituangkan dalam puisinya, bukan hanya ingin diketahui oleh orang lain, melainkan ingin juga dirasakan oleh orang lain. Begitu juga perasaan dendam, benci, cinta, sedih, ngeri, marah, dan sebagainya yang tergambar dalam puisinya, ingin supaya juga dirasakan oleh pembacanya. Penyair berusaha menjadikan semua pengalaman jiwanya sebagai sesuatu yang semula abstrak menjadi konkret, sehingga dengan mudah ditangkap pembaca disebut pengimajian (Suharianto, 1981). Pengimajian ini banyak digunakan oleh penyair, karena pengimajian dianggap sebagai jiwa puisi. Dengan pengimajian puisi menjadi hidup dan berjiwa. Puisi yang berjiwa dan hidup tentu dapat memikat pembaca.
Untuk memperkuat pengimajian atau pencitraan, bermacam-macam unsur yang digunakan oleh penyair, misalnya dengan menggunakan bermacam-macam simbolik, paradoks, ironi, dan sebaginya. Unsur simbolik yang digunakan oleh penyair pada dasarnya ada dua macam, yaitu simbolik konvensional  dan simbol yang bersifat pribadi. Simbol yang konvensional adalah simbol yang sudah diketahui umum, sedangkan simbol yang bersifat pribadi biasanya lebih sukar. Misalnya, laut bagi Sultan Takdir Alisyahbana disimbolik sebagai perjuangan, sedangkan bagi Sanusi Pane laut disimbolkan sebagai lambang ketenangan.
Perhatikan contoh di bawah ini dan perhatikan penggunaan simbol laut dalam kedua puisi tersebut.

MENUJU KE LAUT

Kami telah meninggalkan engkau
Tasik yang tenang tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
sebab sekali kami bangun
dari mimpi yang nikmat

“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit
pasir rata berulang dikecup
tebing curam ditantang diserang
dalam bergurau bersama angin
dalam berlomba bersama mega”

Sejak itu jiwa gelisah,
selalu berjuang tiada reda
ketenangan lama rasa beku
gunung pelindung rasa penghalang
berontak hati hendak bebas
menyerang segala apa mengadang

Gemuruh berderai kami jauh
terhempas berderai mutiara bercahaya
gegap gempita suara mengerang
dahsyat bahana suara menang
keluh elan gelak silih berganti
pekik dan tampik sambut menyambut

Tetapi betapa sukarnya jalan
badan terhempas kepala tertumbuk
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiada ingin
ketenangan lama tiada diratap
………………………………

Kami telah meninggalkan engkau
tasik yang tenang tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan
sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat

(Sultan Takdir Alisyahbana)


DIBAWA GELOMBANG

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang, tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu.

Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat.

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun.
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun.

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu.

                                                (Sanusi Pane)

            Simbol umum yang juga sering digunakan oleh penyair ialah sungai yang mengalir menyimbolkan perjalanan hidup manusia, tidur memberi simbol kematian, laut menyimbolkan sesuatu yang tidak terbatas. Namun, simbol umum ini dapat bergeser artinya sesuai dengan pandangan hidup masing-masing penyair, dan situasi yang digambarkan, seperti contoh simbol laut di atas.
            Ada bermacam-macam imajinasi yang digunakan oleh penyair, antara lain :
1)      Imajinasi visual, yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah melihat sendiri apa yang dikemukakan penyair.
2)      Imajinasi auditory, yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri apa yang dikemukakan oleh penyair. Suara dan bunyi yang digunakan tepat sekali melukiskan hal yang dikemukakan. Onomatope sering digunakan dalam hal ini, misalnya anjing menggonggong, pipi mencicit.
3)      Imajinasi articulatory, yaitu imajinasi yang menyebabkan pembaca mendengarkan bunyi-bunyian dengan artikulasi tertentu pada bagian mulut. Waktu kita membaca puisi, kita seakan-akan melihat gerakan-gerakan mulut membunyikannya dan dengan sendirinya mulut juga ikut bergerak.
4)      Imajinasi olfaktory, yakni imajinasi penciuman atau pembauan. Dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu kita seperti mencium bau sesuatu. Kita mencium bau bunga mawar dengan membaca atau mendengar sesuatu.
5)      Imajinasi gustatory, yaitu imajinasi pencicipan. Dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat tertentu kita seolah-olah mencicipi sesuatu, misalnya rasa asin, manis, pedas, dan sebagainya.
6)      Imajinasi tactual, yaitu imajinasi rasa kulit yang menyebabkan kita seolah-olah merasakan sesuatu di kulit, misalnya rasa nyeri, rasa dingin, atau rasa pedih.
7)      Imajinasi kinastetik, yaitu imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
8)      Imajinasi organik, yaitu imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti melihat atau merasakan badan lesu, loyo, lemas, mual, dan sebagainya (BP. Situmorang, 1983).
Lebih lanjut, cobalah Anda baca puisi di bawah ini dengan sungguh-sungguh.

TURUN MALAM

Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perut
Di tepi hutan pinus sejenak kita istirahat
Ialah biru yang sepotong, awan menggumpul berkejaran
Gunung benteng terakhir mendukung senja.

Matahari terbakar dalam api yang sepi
Garis-garis angin mengucapkan selamat malam
Ke tengah kami tiga regu infanteri
Dalam derap hening akan memasuki lembah.

Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya
Sebuah kota di bawah deru kabut yang jauh
Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga
Membiarkan tangan angin pada dahan meluruh
Seseorang perlahan menyanyikan lagu republik
Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit
Memicingkan mata serta bahu memar ngembara
Rimba akasia di puncak paling biru.

Kutepuk kini pundakmu, bukti benteng setia.
Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa.
Ialah langkah merayap malam penyergapan
Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya.

                                                (Taufik Ismail, Sajak Ladang Jagung)

Kita tergugah menggunakan indera batin kita untuk menangkap apa yang diungkapkan oleh puisi di atas. Kita aktif menggunakan mata kita membayangkan ungkapan-ungkapan yang dilahirkan penyair. Cobalah Anda rasakan ungkapan Taufik berikut ini :
Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perut
Di tepi hutan pinus sejenak kita istirahat
Ialah biru yang sepotong, awan menggumpul berkejaran
Gunung benteng terakhir mendukung senja.

Kita tergugah menggunakan indera mata kita melihat wujud lembah dan sungai yang mengalirkan di dasarnya, awan yang bergumpal-gumpal yang saling berkejaran. Kita dapat membayangkan suasana yang digambarkan penyair, suasana senja di sebuah lembah dan dekat gunung.
Matahari terbakar dalam api yang sepi
Garis-garis angin mengucapkan selamat malam
Ke tengah kami tiga regu infanteri
Dalam derap hening akan memasuki lembah

Kita pun seolah-olah dapat membayangkan suasana pada waktu senja, matahari yang terbakar dalam api yang sepi, api yang sepi gambaran dan langit yang merah, dan matahari pun menjadi merah, gambaran saat-saat senja dan derap hening regu infanteri memasuki lembah.
Kita pun seolah-olah mendengar bagaimana salah seorang menyanyikan lagu republik secara perlahan, dan seolah-olah dapat membayangkan. Ia bersandar di pohon cemara sekedar untuk beristirahat dengan laras senjata menghadap ke atas.
Seseorang perlahan menyanyikan lagu republik
Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit

Kita rasakan, prajurit ini sudah siap melanjutkan tugasnya (bertempur), sesudah menyatukan tekad dan berdoa (sembahyang) di punggung bukit tersebut yang merupakan benteng yang setia. Kita membayangkan gerakan-gerakan mereka dalam penyergapan dengan merayap pada malam gelap yang hanya disinari oleh sebutir bintang.
Coba Anda perhatikan bait terakhir ini :
Kutepuk kini pundakmu, bukti benteng setia
Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa
Ialah langkah merayap malam penyergapan
Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya

Dengan cara demikian, penyair tidak hanya sekedar memberikan informasi kepada kita bagaimana penyergapan di malam hari dan turun malam, tetapi kita diajak dapat membayangkan, merasakan, atau mendengar apa yang sedang dirasakan dan dilihat oleh penyair. Kemampuan indria kita tergugah menangkap suatu gambaran atau lukisan tentang lembah, sungai, langit, matahari, gunung, angin, prajurit, dan ketika turun malam. Kita tergugah karena Taufik menggunakan kata-kata yang konkret pula. Cobalah Anda perhatikan penggunaan kata-kata lembah, sungai, menggeliat, gunung, bergumpal-gumpal awan, matahari, dan sebagainya.
Semua yang terlihat, terdengar, dan seolah-olah terasakan dalam kehidupan nyata, ini disebut imaji atau citra.
Selanjutnya, cobalah Anda baca puisi Amir Hamzah di bawah ini, dan perasaan apa yang timbul di hati Anda.


Terbuka Bunga

Terbuka bunga dalam hatiku!
Kembang rindang disentuh bibir-kesturi-mu
Melayah-layah menitip restu senyumanmu
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah bunga
Lampau, kekasihkau
Bunga sunting-hati-ku, dalam masa mengembara
menanda diriku
Kekasihku! Inikah bunga sejati yang tiadakah layu?

                                    (Nyanyian Sunyi, Amir Hamzah, 1959)

Bunga dalam puisi di atas tentulah bukan arti yang sebenarnya. Terbuka bunga dalam hatiku, tentu berkaitan dengan perasaan, yaitu perasaan cinta. Cinta dilambangkan dengan bunga. Cinta yang hanya dapat dirasakan oleh setiap individu, yang tidak dapat digambarkan secara konkret, maka untuk mengkonkretkannya dilambangkanlah dengan bunga, benda konkret yang dapat ditangkap oleh indera kita. Timbul perasaan cinta dalam hati penyair, dalam hal ini lebih dapat kita rasakan.
Bagaimana seharusnya perasaan cinta ini digambarkan secara hidup oleh penyair.
Kembang rindang disentuh bibir-kesturi-mu
Kembang dan rindang, menggambarkan sesuatu yang subur, yang biasa kita lihat dalam alam nyata. Disentuh bibir-kesturi-mu digambarkan seolah-olah seperti benda hidup yang mempunyai bibir dan dapat menyenntuh. Melayah-layah mengintip restu senyumanmu, seolah-olah cinta itu merupakan benda hidup, yang dapat meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri, dan dapat pula mengintip karena mempunyai mata. Kata-kata yang digunakan penyair mampu menggugah indera kita untuk aktif melihat, mendengar, dan merasakan, karena kata-kata yang digunakan penyair memberikan gambaran yang konkret atau nyata. Bermacam cara digunakan penyair untuk menjadikan puisi lebih konkret di hati pembacanya, atau dengan kata lain menumbuhkan imaji dalam diri pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar