1.
Makna Kata dalam Puisi
Puisi dirangkaikan
dengan kata-kata. Pilihan kata merupakan unsur penting dalam sebuah puisi.
Bahasa puisi atau sastra pada umumnya bersifat konotatif maksudnya mempunyai
kemungkinan banyak tafsir. Kata-kata dalam puisi memiliki kemampuan menggugah
berbagai asosiasi perasaan, misalnya haru, benci, belas kasihan, mesra, dan
sebagainya. Setiap kata mengandung jentikan emosi dan membangun rasa yang
sifatnya sangat pribadi. Bahasa konotatif yang sifatnya mendukung
emosi/perasaan pengutaraannya berhubungan erat dengan suasana jiwa. Ungkapan
kata-kata dalam bahasa konotatif tidak hanya memiliki makna, tetapi juga berisi
simbol-simbol. Bahasa konotatif tidak hanya mementingkan arti, tetapi
mementingkan bobot dan gaya,
serta keluasan tafsiran. Klimaks bahasa konotatif ini terlihat dalam bentuk
puisi.
Kata-kata merupakan
alat yang paling komunikatif bagi penyair untuk mengutarakan getaran pikiran
dan gejolak perasaannya. Setiap sentuhan, setiap situasi, setiap timbul rasa
kagum, rasa benci, cinta, ngeri, dan lain-lain, dicoba diungkapkan dengan kata-kata.
Puisi merupakan bahasa perasaan, bahasa cinta dan benci, bahasa berahi, bahasa
jiwa, pikiran, dan kemanusiaan bagi seorang penyair. Melalui puisi, penyair
berusaha agar apa yang dikandung dalam perasaan dan pikirannya dapat terwakili.
Dapat dikatakan, puisi merupakan duta perasaan dan pikiran sang penyair.
Karena kata memegang
peranan penting dalam sebuah puisi, maka setiap penyair berusaha menggunakan
setiap kata seintensif mungkin. Setiap kata selain harus mampu mengutarakan
pikiran, ia pun harus mampu mengantarkan perasaan. Kata yang dipilih harus pula
mampu memindahkan situasi yang ditangkap pancaindera. Kalau penyair ingin
mengutarakan rasa sedih, dendam, cinta, gelisah, tertekan-tekan, dan lain-lain
misalnya, maka rasa itu tidak hanya cukup diketahui pembaca, tetapi harus pula
dapat dirasakan. Dalam hal ini dituntut kemampuan penyair menggunakan
kata-kata.
Bahasa puisi seperti
sudah dijelaskan sebelumnya pada umumnya bersifat konotatif. Ia terdiri dari
kata-kata atau kalimat-kalimat yang suprarasional. Ia mampu menggugah
bermacam-macam asosiasi perasaan. Namun, untuk dapat menyingkapkan makna sebuah
puisi sebaik-baiknya, memahami makna lugas atau memahami makna denotatif
terlebih dahulu, dapat membantu memahami makna utuh dari sebuah puisi. Tanpa
memahami makna lugas dari sebuah puisi, kita dapat terseret jauh-jauh ke
penafsiran yang keliru. Dengan memahami makna lugas sebaik-baiknya, akan dapat
menumbuhkan berbagai pertanyaan tentang makna utuh dari sebuah puisi.
Selanjutnya, cobalah
Anda baca dengan teliti contoh sajak di bawah ini :
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karang bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi
(Taufik
Ismail, Tirani)
Makna
lugas dari sajak Taufik di atas dapat dengan mudah kita tangkap. Pada suatu
sore, dengan langkah malu-malu, tiga anak kecil datang ke Salemba, ke tempat
kakak-kakak mereka. Mereka kemudian menyerahkan karangan bunga berpita hitam
sebagai tanda ikut berduka cita bagi salah seorang kakak mereka yang ditembak
mati siang itu.
Makna
lugas di atas akan menumbuhkan berbagai pertanyaan kalau kita membaca kembali
sajak di atas dengan teliti. Apakah makna sajak di atas semata-mata seperti
yang kita tafsirkan di atas ? Apakah masih ada makna lain yang belum kita
ungkapkan ? Pertanyaan ini timbul dalam usaha memahami sajak tersebut
seutuhnya.
Sajak
"Karang Bunga" di atas lahir waktu terjadi perlawanan terhadap orde
lama yang dipelopori oleh mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI dan
KAPPI. Sajak di atas dipersembahkan Taufik kepada martir KAMI dan KAPPI yang
tersungkur ke bumi ketika menegakkan keadilan dan kebenaran. Tiga anak kecil
dalam langkah malu-malu datang ke Salemba. Salemba (UI) merupakan pusat
perjuangan pada waktu itu dan yang tersungkur adalah mahasiswa yang akhirnya
menjadi pahlawan Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA). Tiga anak kecil menyatakan
ikut berduka cita mempersembahkan karangan bunga berpita hitam. Hal ini menggambarkan
bahwa seluruh lapisan masyarakat dan anak-anak muda usia, mahasiswa, pelajar,
bahkan taman kanak-kanak pun ikut serta dalam barisan perjuangan KAMI/KAPPI
dalam mendobrak ketidak-adilan. Pemahaman makna lugas dalam sajak di atas
membantu kita memaksa makna utuh puisi tersebut.
Untuk menambah pemahaman Anda tentang
makna lugas dan makna utuh dari sebuah puisi, coba Anda baca secara teliti
contoh puisi di bawah ini :
Hari
Tuaku
Apabila hari tuaku tiba, kelak suatu masa
Kacamata
tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan
lelakon lama. Lalu tersenyum
Memandang
bayangan atas kaca jendela
Yang
putih warnanya, sampai pun alis, bulu mata.
Maka
nama Mu kan
kusebut dengan bibir gemetar
Bagai
ayat kitab suci, tak sembarang boleh terdengar
Namun
kala itu yang empunya nama entah di mana
Apakah
lagi menyulan, duduk bungkuk atas kursi rotan
Ataukah
sedang meminang cucu, mungkin pula telah lain
Aman
berbaring dalam tilam penghabisan.
Dan
pabila giliranku tiba, terlentang
Dengan
kedua belah tangan bersilang
Sebelum
Sang Maut menjemput
Sekali
lagi nama Mu kan
kusebut, lalu diam. Mati.
(Ajip
Rosidi, Jeram)
Bagaimana
pula makna lugas dari sajak Ajip tersebut di atas ? Pertama-tama kita akan
menangkap secara keseluruhan, yaitu gambaran dari orang-orang pada hari tuanya.
Dengan membacanya lebih teliti lagi larik demi larik, dan memahami makna kata
dalam tiap larik, gambaran makna sajak itu mungkin makin jelas. Dengan memahami
makna harfiah tiap kata dalam larik akan membantu kita memahami makna utuh dari
sajak tersebut.
Cobalah Anda gambarkan
tentang hari tuaku tersebut dengan menggunakan beberapa kata untuk melihat
pertalian larik dan bait sajak tersebut.
Hari Tuaku
Apabila hari tuaku (sudah) tiba, kelak (pada) suatu masa
kaca
mata tebal (akan ada di) atas hidung,
(dan)
bersenandung menembangkan kenangan lama
Lalu
tersenyum sendiri, memandang bayangan
(di)
atas kaca mata jendela yang (serba) putih,
sampai (-sampai) alis (dan) bulu mata pun putih
(waktu itu) nama-Mu selalu kusebut dengan bibir gemetar,
seperti (membaca) ayat kitab suci, tidak boleh salah.
Namun, pada waktu itu mungkin di
antara kami ada yang sedang menyulam atau duduk bungkuk, (di) atas kursi rotan
atau sedang meminang cucu, (atau) mungkin pula sudah lama meninggal.
Dan apabila giliranku tiba,
terlentang dengan kedua belah tangan bersilang, sebelum maut (datang)
menjemput, (aku) aku menyebut nama-Mu, dan (barulah)
mati.
Anda
dengan mudah memprafrasekan puisi di atas, dengan bantuan beberapa kata sendiri
di samping memahami makna lugas dari setiap kata. Namun, apakah ada makna lain
yang belum kita pahami di samping makna lugas di atas ?
Jika
Anda baca dengan sungguh-sungguh, ada kata-kata atau frase tertentu yang
menimbulkan imaji tertentu. Misalnya kaca mata tebal atas hidung, bayangkan
atas mata yang putih, sampai alis dan bulu mata, menyulam, duduk bungkuk di
atas kursi rotan, berbaring dalam tilam penghabisan, kedua belah tangan
bersilang, menjelmakan imaji tingkah laku manusia dan dapat menggugah imaji
penglihatan pembaca. Jaringan imaji sebagai sebuah lukisan, benar-benar terasa
hidup karena kekonkretan lukisan orang yang sudah tua, yang berkaca mata tebal,
duduk bungkuk di atas kursi rotan menyulam, dan sebagainya. Penuangan
pengalaman penyair, pengalaman indra maupun pengalaman nalar yang
diungkapkannya dengan bahasa yang khas, dengan pengimajian, pengiasan,
pelambangan akan menggugah pengalaman kita untuk menangkapnya secara konkret.
Dengan kata lain menggugah indra dan nalar kita. Indra pendengaran dan
penglihatan kita pun tergugah dengan lukisan penyair, nama-Mu kusebut dengan
bibir gemetar, sekali lagi nama-Mu kusebut lalu diam.
Kalau kita lihat hubungan antara imaji
dengan imaji (jaringan imaji), jaringan ini juga melambangkan sesuatu, bukan
hanya sekedar lukisan. Melalui pelambangan Ajip menggambarkan perjuangan umat
manusia, perjuangan untuk mencapai hidup yang survive untuk sampai pada
hari tua yang diidamkan, yang penuh ketenangan. Dalam sajaknya "Hari
Tuaku", Ajip melukiskan bagaimana kehidupan di hari tua yang
diidam-idamkannya, yang penuh ketenangan dan kedamaian, dan yang selalu berada
dan ingat terhadap Tuhan. Inilah makna utuh dari sajak Ajip di atas. Jadi,
makna sebuah sajak ialah makna secara keseluruhan, tersurat maupun tersirat,
yang terjelma karena adanya hubungan saling menentukan antara pengimajian,
pengiasan, dan pelambangan (Effendi, 1982).
Memahami
makna utuh dari sebuah sajak berarti secara aktif dan intensif kita berusaha
menyalami dan memahami apa yang hendak dikatakan penyair, serta bersifat
kebenaran yang diungkapkan itu. Keseimbangan antara perasaan nikmat dan
perenungan perlu tetap dipelihara walau kita memahami makna utuh sebuah sajak.
Kita tidak boleh hanya terhanyut oleh perasaan kita waktu menikmati sebuah sajak,
tetapi nalar dan pikiran kita juga harus bekerja. Dengan demikian kita dapat
memahami nilai-nilai kehidupan yang diungkapkan penyair, baik secara tersirat
maupun tersurat, karena untuk memahami nilai-nilai tersebut dituntut pemikiran,
penalaran, dan kesanggupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar