Kamis, 20 Agustus 2015

APRESIASI PUISI INDONESIA



APRESIASI PUISI INDONESIA

Sebelum mengapresiasi puisi, baca kembali kegiatan belajar empat yang menjelaskan tentang unsur-unsur yang membangun puisi. Apresiasi puisi adalah apresiasi Anda terhadap puisi dengan unsur-unsur yang membangunnya, sehingga anda kelak akan memperoleh kesan tertentu terhadap puisi yang anda baca dan apresiasi.
Setelah anda mempelajari kembali unsur-unsur yang membangun puisi berikut ini yang berjudul 1943, karya Chairil Anwar. Puisi ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak puisi yang dapat anda apresiasi.

1943

Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Malam kelam membelam
jalan kaku lurus. Putus
candu
tumbang
tanganku menadah patah
terbenam
hilang
lumpuh
lahir
tegak
berderek
rubuh
runtuh
mengguruh
menantang, menyerang
kuning
merah
hitam
kering
tandas
rata
rata
rata
dunia
kau
Aku terpaku

Chairil Anwal
Dari: Kesusastraan Indonesia
Di masa Jepang 101

Kalau kita melihat dan membaca puisi ini kita akan terpana pada deretan kata-kata yang digunakan penyair beruntun ke bawah dan diawali dengan judul dalam bentuk angka 1943. Hanya empat larik yang berupa kalimat, selebihnya hanya berupa deretan kata yang beruntun ke bawah dan diahkir puisi kita diajak kembali pada satu kalimat pendek, yaitu: Aku terpaku.
Apa tema puisi ini? Untuk melihat tema puisi tersebut, selusuri dahulu makna kata demi kata. Barangkali di antara kata-kata yang digunakan penyair terdapat kata-kata sulit, atau belum Anda kenal. Misalnya kata rabu. Kata rabu adalah kata lain untuk paru-paru. Kata tersebut berasal dari bahasa Melayu. Untuk itu tentunya anda memerlukan kamus atau narasumber untuk mengetahui arti kata yang belum Anda ketahui tersebut. Kalau semua kata Anda ketahui artinya (secara harfiah, lugas) baru anda dapat memahami isi puisi secara keseluruhan.
Judul 1943, mengingatkan kita pada suatu angka tahun pada waktu bangsa Indonesia dijajah oleh Jepang. Kehidupan bangsa Indonesia yang pahit pada waktu itu terungkap dalam puisi Chairil Anwar ini. Perhatikan makna larik demi larik, dan bayangkan suasana yang diungkapkan pada setiap larik.

1) Racun berada direguk pertama. Apa yang akan terjadi kalau racun sudah terminum dan sudah berada ditenggorokan? Tentu itu membahayakan awal kepahitan, awal kematian seseorang.
2) Membusuk rabu terasa di dada. Diperkuat lagi dengan terasa membusuk paru-paru yang berfungsi sebagai alat pernapasan manusia.
3) Tenggelam darah dalam nanah. Kalau sudah sampai pada titik yang memperlihatkan lebih banyak nanah daripada darah dalam tubuh manusia, dan 4) malam (pun) kelam tidak bercahaya sama sekali, apa lagi yang akan terjadi begitu? Begitu pahit kehidupan yang dirasakan, tidak ada daya, tidak ada tenaga untuk melanjutkan kehidupan ini. 5) jalan kaku, lurus, putus. Tidak ada pula tempat lari, tempat menghindar, karena jalan yang ditempuh tidak dapat diubah kembali, terlalu lurus, kaku dan putus. Yang ada hanya 6) candu dan candu pun merajalela menghancurkan kehidupan setiap orang sehingga menjadi 7) tumbang. 8) tanganku menadah patah. Dicoba tangan berdoa ke hadirat Ilahi, tetapi tangan pun patah terkulai tak berdaya, akhirnya 9) luluh, 10) terbenam, 11) hilang, 12) lumpuh, tak berdayah sama sekali. Dicoba untuk lahir 13), tegak 14) tetapi berderak 15) dan rubuh 16) runtuh 17) mengguruh. 18) Dicoba pula untuk menentang kehidupan yang teramat pahit itu, dicoba pula 20) menyerang, akhirnya pemandangan berkunang-kurang, menyatu warna 21) merah, 22) kuning, 23) hitam, dan tubuh pun menjadi 24) kering 25) tandas 26) rata dengan 27) dunia, sehingga 28) kau dan 29) aku terpaku melihatnya.
Demikianlah kira-kira gambaran kehidupan yang diungkapkan penyair tentang suasana kehidupan bangsa pada tahun 1943. interpretasi seperti itu mungkin saja berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tetapi, pada tingkat yang umum akan terdapat kesamaan interpretasi seperti yang telah diungkapkan tadi. Pada bagian yang detail mungkin akan terdapat beberapa perbedaan. Hasil interpretasi yang beragam itu mungkin saja terjadi karena karya sastra adalah karya subyektif. Oleh karena itu, penafsirannya pun berbeda pula.
H.B. Yasin dalam bukunya Kesusastraan di Masa Jepang, mengingatkan bahwa sajak Chairil Anwar tersebut, tercipta ketika melihat seorang bayi berumur empat belas bulan, segar bugar. Dalam pandangan yang demikian, ditabah dengan keinsyafan penyair si bayi telah pula mereguk racun yang pertama telah pula mengandung benih kematian pada dirinya (Yassin, 1968:101)
Dalam hal itu, H.B. Yasin seolah-olah mengenal benar Chairil Anwar sehingga tahu benar proses terciptanya puisi tersebut. Sedangkan hal itu tidak dapat diketahui oleh orang lain atau pengamat lainnya. Untuk hal yang seperti itu, lepaskan diri dari si penyair, karena pasti tidak semua orang tahu tentang peristiwa itu.
Dari pembicaraan itu dapat dirasakan bahwa tema puisi tahun 1943 adalah lukisan kehidupan pada zaman penjajahan Jepang. Lukisan kehidupan tersebut terungkap jelas melalui rangkaian kata-kata yang digunakan penyair dalam puisinya. Kekayaan imaji penyair dalam mengungkapkan tema terlihat pula pada makna kata-kata yang digunakannya. Penyair seakan-akan mengalami langsung peristiwa (suasana) pada masa Jepang menjajah bangsa Indonesia, sehingga pengalamannya itu menjadi hidup dalam dunia imajinasi pengarang. Lompatan-lompatan pikiran dalam jalina peristiwa yang mengungkapkan kehidupan masyarakat pada waktu itu terlihat pada urutan peristiwa yang disajikannya, misalnya:

Tanganku menadah patah

Pada lirik ini terlihat suasana yang memperlihatkan ketidakberdayaan masyarakat pada waktu itu. Tangan dicoba menadah, berdoa ke hadirat yang Maha Kuasa, tapi tangan itu pun tak berdaya, patah, terkulai, bahkan menjadi luluh terbenam, hilang, lumpuh. Dicoba untuk lahir atau bangun, tegak, tetapi tubuh menjadi berderak, rubuh, runtuh pula. Dicoba pula untuk menentang, menyerang, tetapi mata menjadi berkunang-kuang, warna kuning, merah, hitam, berpadu menjadi satu dan akhirnya rata dengan bumi. Dalam hal ini terlihat kecendekiaan penyair dalam menguraikan peristiwa yang diungkapkannya.
Dengan kearifannya pula penyair menyajikan suasana yang dialaminya pada masa itu. Ia hanya melukiskan peristiwa tanpa mengajak pembaca secara eksplisit untuk menyadari suasana itu. Tidak ada kata-kata yang bombastis, menggebu-gebu dalam mempengaruhi pembaca. Dengan  lukisan penyair tentang suasana pada masa itu, diharapkan pembaca menjadi tergugah dan menghayati kehidupan masyarakat pada masa itu.
Apa yang diungkapkan penyair adalah hasil renungannya terhadap kehidupan masyarakat pada masa tertentu, yaitu kehidupan masyarakat yang dilihat, diamati dan dirasakannya sehingga tertuang dalam puisinya. Inilah keaslian yang dimiliki penyair yang tertuang dari hasil renungannya terhadap kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa Indonesia pada masa itu.
Bagaimana struktur puisi 1943 tersebut? Untuk itu mari kita perhatikan:
1)      Unsur musikalitasnya (irama). Irama puisi dibangun oleh bunyi-bunyi, persamaan bunyi, yang terdapat di dalamnya, baik di dalam kata, antarkata, dalam larik, ataupun antarlarik. Adakah persamaan bunyi yang terdapat dalam puisi yang membangun irama puisi tersebut baik dalam bentuk aliteral maupun assonasi. Perhatikan larik-larik puisinya:
(1)   Racun berada di reguk pertama ----------- ada -- ama
(2)   Membusuk rabu terasa di dada  ----------- ada--ada
(3)   Tenggelam darah dalam nanah  ----------- lam -- lam
rah -- nah
(4)   Malam kelam membelam    ----------- lam--lam—lam
(5)   Jalan kaku, lurus, putus       ----------- rus –tus

Dari kelima larik itu saja kita lihat adanya persamaan bunyi mulai pertama sampai pada larik ke lima. Demikian juga persamaan bunyi pada antarlarik baik dalam bentuk asonansi maupun aliterasi. Kalau, diteruskan sampai ke akhir larik, walaupun hanya berupa deretan kata-kata, masih terlihat persamaan bunyi yang memaniskan irama pada waktu membacanya.

2)      Korespondensi. Korespondensi ialah kesinambungan makna antarkata, antarlarik dalam puisi tersebut. Adalah kesinambungan makna antarkata dalam puisi 1943?
Larik (1), (2), (3), (4), (5), terdiri atas kalimat dan selebihnya berupa deretan kata-kata saja. Larik yang berupa kalimat, jelas memperlihatkan kesinambungan makna antarkata (1, 2, 3, 4, 5) tetapi larik yang berupa deretan kata-kata perlu diteliti dengan seksama kesinambungan maknanya. Perhatikan di bawah ini!

……..
candu
tumbang
tanganku menadah patah
terbenam
hilang
lumpuh
lahir
tegak
berderek
rubuh
runtuh
mengguruh
dan seterusnya

Setelah kata dalam larik tersebut merupakan kata kerja, kecuali, kata candu dan tanganku. Oleh karena itu, ungkapan peristiwa: tumbang, luluh, terbenam, hilang, lumpuh, dan seterusnya. Apa yang tumbang, luluh dan lain-lainnya? Untuk mencari itu perlu diadakan (dibuatkan parafrase terhadap puisi tersebut. Caranya adalah dengan membubuhkan kata-kata bantu, kata-kata penghubung yang akan membantu memperjelas makna puisi tersebut. Kata-kata yang ditambahkan dinamakan di dalam kurung  supaya naskah asli puisi tetap terlihat:

Contoh:
Racun (sudah) berada di reguk pertama
(sehingga) Membusuk rabu terasa di dada
(terasa) Malam kelam membelam
jalan (pun) kaku lurus. Putus
candu (pun)
(menjadi) tumbang
tanganku menadah patah
(jiwaku) terbenam
hilang
lumpuh
dan seterusnya

Itulah salah satu cara untuk melihat kesinambungan makna antarlarik, antartkata. Penambahan kata-kata penghubung tersebut bisa saja berbeda antarpengamat, asalkan makna puisi tersebut tetap terlihat. Cara tersebut dinamakan parafrase atau memprosakan bentuk puisi dengan tidak mengubah teks puisi sebenarnya.
3.             Gaya bahasa. Gaya bahasa yang akan digunakan penyair dalam mengintensifkan tujuan penulisannya. Hal itu akan terlihat dari pilihan katanya, atau kosakata yang dipergunakannya. Perhatikan larik:

- Tenggelam darah dalam nanah -

Kalau darah sudah tenggelam dalam nanah, berarti dalam tubuh manusia jauh lebih banyak nanah daripada darah. Bayangkan kalau terjadi hal yang seperti itu. Jelas kehidupan yang seperti itu membayangkan kehidupan yang sudah sangat parah, sangat menyedihkan. Untuk menyatakan kehidupan yang seperti itu, penyair tidak mempergunakan kata-kata biasa, seperti: kehidupan yang parah; kehidupan yang sangat menyedihkan; dan lain-lain, tetapi diungkapkan dengan cara perbandingan; yaitu dengan membayangkan tenggelam (nya) darah dalam nanah. Inilah gaya penyair yang menyatakan sesuatu tidak secara langsung, tetapi dengan melalui perbandingan atau kiasan. Kiasan yang dipergunakan penyair bertujuan untuk menghidupkan lukisan yang diungkapkan; dlaam hal ini lukisan tentang kehidupan masyarakat yang sangat parah, sangat menyedihkan. Dalam puisi 1943 ini banyak terdapat gaya bahasa yang dipergunakan penyair. Perhatikan larik-larik:
-          malam kelam membelam
-          luluh
-          terbenam
-          hilang
-          lumpuh

Kata-kata pada setiap larik saling menunjang, memperkuat, mempertajam makna. Malam kelam membelam, memperlihatkan gaya bahasa repetisi, disamping memperlihatkan gaya aliterasi. Demikian juga larik luluh, terbenam, hilang, lumpuh memperlihatkan makna yang saling mempertajam suasana kehancuran yang dirasakan masyarakat pada masa itu. Demikian juga dengan makan kata pada tiap larik berikutnya, sehingga sampai kepada makna utuh puisi tersebut.
Semua unsur puisi tersebut berbicara kepada pembaca (penikmat puisi) sehingga pembaca sampai pada kesan tertentu terhadap tema yang diungkapkan penyair. Apakah akan timbul rasa bangga, rasa kagum, rasa haru, rasa benci, rasa marah, tentunya tergantung pada kepekaan pikiran dan perasaan penikmat puisi terhadap permasalahan yang diungkapkan penyair. Yang jelas bahwa melalui karya sastra, dalam hal ini puisi, pembaca akan memperoleh sesuatu. Kesan tentang isi puisi tidak mungkin dapat diperoleh dari membaca hanya sebagian kutipannya saja, tetapi dari keseluruhan (keutuhan) karya. Membaca penggalan puisi belum dapat membayangkan makna utuh puisi tersebut. Oleh karena itu, dengan membaca berulang-ulang puisi yang akan diapresiasikan, mutlak diperlukan bagi seorang pengapresiasi. Setiap dibaca puisi tersebut akan memberikan kesan yang lebih dalam dan lebih luas dari sebelumnya. Keseluruhan unsur yang terdapat dalam karya yang bersangkutan, akan memberikan kesan kepada orang yang mengapresiasikannya. Demikian salah satu cara mengapresiasikan  puisi diantara sekian banyak cara apresiasi lainnya. Dari hasil apresiasi terhadap puisi 1943, anda akan memperoleh klesan tertentu tentang suasana pada masa tahun 1943. angka 1943 jelas memperhatikan angka tahun dan angka itu sangat berarti bagi bangsa Indonesia yang masih berada di dalam cengkeraman penjajah Jepang. Apresiasi terhadap puisi lainnya juga dapat anda lakukan dengan cara yang sama.
Puisi 1943 adalah salah satuh puisinya yang asli. Dari catatannya yang diperoleh H.B. Yasin, sajak asli Chairil Anwar adalah 69 judul, saduran 4 judul, terjemahan 10 judul. Di samping puisi, Chairil Anwar juga pernah menulis prosa yaitu 6 judul prosa asli dan 4 prosa terjemahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar