APRESIASI PUISI INDONESIA
Sebelum mengapresiasi puisi, baca kembali kegiatan
belajar empat yang menjelaskan tentang unsur-unsur yang membangun puisi.
Apresiasi puisi adalah apresiasi Anda terhadap puisi dengan unsur-unsur yang
membangunnya, sehingga anda kelak akan memperoleh kesan tertentu terhadap puisi
yang anda baca dan apresiasi.
Setelah anda mempelajari kembali unsur-unsur yang
membangun puisi berikut ini yang berjudul 1943, karya Chairil Anwar. Puisi ini
hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak puisi yang dapat anda apresiasi.
1943
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Malam kelam membelam
jalan kaku lurus. Putus
candu
tumbang
tanganku menadah patah
terbenam
hilang
lumpuh
lahir
tegak
berderek
rubuh
runtuh
mengguruh
menantang, menyerang
kuning
merah
hitam
kering
tandas
rata
rata
rata
dunia
kau
Aku terpaku
Chairil Anwal
Dari: Kesusastraan Indonesia
Di masa Jepang 101
Kalau kita melihat dan membaca puisi ini kita akan
terpana pada deretan kata-kata yang digunakan penyair beruntun ke bawah dan
diawali dengan judul dalam bentuk angka 1943. Hanya empat larik yang berupa
kalimat, selebihnya hanya berupa deretan kata yang beruntun ke bawah dan
diahkir puisi kita diajak kembali pada satu kalimat pendek, yaitu: Aku terpaku.
Apa tema puisi ini? Untuk melihat tema puisi tersebut,
selusuri dahulu makna kata demi kata. Barangkali di antara kata-kata yang
digunakan penyair terdapat kata-kata sulit, atau belum Anda kenal. Misalnya
kata rabu. Kata rabu adalah kata lain untuk paru-paru.
Kata tersebut berasal dari bahasa Melayu. Untuk itu tentunya anda
memerlukan kamus atau narasumber untuk mengetahui arti kata yang belum Anda
ketahui tersebut. Kalau semua kata Anda ketahui artinya (secara harfiah, lugas)
baru anda dapat memahami isi puisi secara keseluruhan.
Judul 1943,
mengingatkan kita pada suatu angka tahun pada waktu bangsa Indonesia dijajah oleh Jepang.
Kehidupan bangsa Indonesia
yang pahit pada waktu itu terungkap dalam puisi Chairil Anwar ini. Perhatikan
makna larik demi larik, dan bayangkan suasana yang diungkapkan pada setiap
larik.
1) Racun berada direguk pertama. Apa yang akan terjadi
kalau racun sudah terminum dan sudah berada ditenggorokan? Tentu itu
membahayakan awal kepahitan, awal kematian seseorang.
2) Membusuk rabu terasa di dada. Diperkuat lagi dengan
terasa membusuk paru-paru yang berfungsi sebagai alat pernapasan manusia.
3) Tenggelam darah dalam nanah. Kalau sudah sampai pada
titik yang memperlihatkan lebih banyak nanah daripada darah dalam tubuh
manusia, dan 4) malam (pun) kelam tidak bercahaya sama sekali, apa lagi yang
akan terjadi begitu? Begitu pahit kehidupan yang dirasakan, tidak ada daya, tidak
ada tenaga untuk melanjutkan kehidupan ini. 5) jalan kaku, lurus, putus. Tidak
ada pula tempat lari, tempat menghindar, karena jalan yang ditempuh tidak dapat
diubah kembali, terlalu lurus, kaku dan putus. Yang ada hanya 6) candu dan candu pun merajalela
menghancurkan kehidupan setiap orang sehingga menjadi 7) tumbang. 8) tanganku menadah patah. Dicoba tangan berdoa ke hadirat
Ilahi, tetapi tangan pun patah terkulai tak berdaya, akhirnya 9) luluh, 10)
terbenam, 11) hilang, 12) lumpuh, tak berdayah sama sekali. Dicoba untuk lahir
13), tegak 14) tetapi berderak 15) dan rubuh 16) runtuh 17) mengguruh. 18)
Dicoba pula untuk menentang kehidupan yang teramat pahit itu, dicoba pula 20) menyerang, akhirnya pemandangan
berkunang-kurang, menyatu warna 21) merah, 22) kuning, 23) hitam, dan tubuh pun
menjadi 24) kering 25) tandas 26) rata dengan 27) dunia, sehingga 28) kau dan
29) aku terpaku melihatnya.
Demikianlah kira-kira gambaran kehidupan yang
diungkapkan penyair tentang suasana kehidupan bangsa pada tahun 1943. interpretasi seperti itu mungkin saja
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tetapi, pada tingkat yang umum akan
terdapat kesamaan interpretasi seperti
yang telah diungkapkan tadi. Pada bagian yang detail mungkin akan terdapat
beberapa perbedaan. Hasil interpretasi
yang beragam itu mungkin saja terjadi karena karya sastra adalah karya
subyektif. Oleh karena itu, penafsirannya pun berbeda pula.
H.B. Yasin dalam bukunya Kesusastraan di Masa Jepang, mengingatkan bahwa sajak Chairil Anwar
tersebut, tercipta ketika melihat seorang bayi berumur empat belas bulan, segar
bugar. Dalam pandangan yang demikian, ditabah dengan keinsyafan penyair si bayi
telah pula mereguk racun yang pertama
telah pula mengandung benih kematian pada dirinya (Yassin, 1968:101)
Dalam hal itu, H.B. Yasin seolah-olah mengenal benar
Chairil Anwar sehingga tahu benar proses terciptanya puisi tersebut. Sedangkan
hal itu tidak dapat diketahui oleh orang lain atau pengamat lainnya. Untuk hal
yang seperti itu, lepaskan diri dari si penyair, karena pasti tidak semua orang
tahu tentang peristiwa itu.
Dari pembicaraan itu dapat dirasakan bahwa tema puisi
tahun 1943 adalah lukisan kehidupan pada zaman penjajahan Jepang. Lukisan
kehidupan tersebut terungkap jelas melalui rangkaian kata-kata yang digunakan
penyair dalam puisinya. Kekayaan imaji penyair dalam mengungkapkan tema
terlihat pula pada makna kata-kata yang digunakannya. Penyair seakan-akan
mengalami langsung peristiwa (suasana) pada masa Jepang menjajah bangsa Indonesia,
sehingga pengalamannya itu menjadi hidup dalam dunia imajinasi pengarang.
Lompatan-lompatan pikiran dalam jalina peristiwa yang mengungkapkan kehidupan
masyarakat pada waktu itu terlihat pada urutan peristiwa yang disajikannya,
misalnya:
Tanganku menadah patah
Pada lirik ini terlihat suasana yang memperlihatkan
ketidakberdayaan masyarakat pada waktu itu. Tangan dicoba menadah, berdoa ke
hadirat yang Maha Kuasa, tapi tangan itu pun tak berdaya, patah, terkulai,
bahkan menjadi luluh terbenam, hilang,
lumpuh. Dicoba untuk lahir atau
bangun, tegak, tetapi tubuh menjadi berderak, rubuh, runtuh pula. Dicoba
pula untuk menentang, menyerang, tetapi
mata menjadi berkunang-kuang, warna kuning,
merah, hitam, berpadu menjadi satu dan akhirnya rata dengan bumi. Dalam hal
ini terlihat kecendekiaan penyair
dalam menguraikan peristiwa yang diungkapkannya.
Dengan kearifannya
pula penyair menyajikan suasana yang dialaminya pada masa itu. Ia hanya
melukiskan peristiwa tanpa mengajak pembaca secara eksplisit untuk menyadari
suasana itu. Tidak ada kata-kata yang bombastis, menggebu-gebu dalam
mempengaruhi pembaca. Dengan lukisan
penyair tentang suasana pada masa itu, diharapkan pembaca menjadi tergugah dan
menghayati kehidupan masyarakat pada masa itu.
Apa yang diungkapkan penyair adalah hasil renungannya
terhadap kehidupan masyarakat pada masa tertentu, yaitu kehidupan masyarakat
yang dilihat, diamati dan dirasakannya sehingga tertuang dalam puisinya. Inilah
keaslian yang dimiliki penyair yang
tertuang dari hasil renungannya terhadap kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa
Indonesia
pada masa itu.
Bagaimana struktur
puisi 1943 tersebut? Untuk itu mari kita perhatikan:
1)
Unsur musikalitasnya (irama).
Irama puisi dibangun oleh bunyi-bunyi, persamaan bunyi, yang terdapat di
dalamnya, baik di dalam kata, antarkata, dalam larik, ataupun antarlarik.
Adakah persamaan bunyi yang terdapat dalam puisi yang membangun irama puisi
tersebut baik dalam bentuk aliteral maupun
assonasi. Perhatikan larik-larik
puisinya:
(1)
Racun berada di reguk pertama
----------- ada -- ama
(2)
Membusuk rabu terasa di dada ----------- ada--ada
(3)
Tenggelam darah dalam nanah
----------- lam -- lam
rah -- nah
(4)
Malam kelam membelam ----------- lam--lam—lam
(5)
Jalan kaku, lurus, putus ----------- rus –tus
Dari kelima larik itu saja kita lihat adanya persamaan
bunyi mulai pertama sampai pada larik ke lima.
Demikian juga persamaan bunyi pada antarlarik baik dalam bentuk asonansi maupun aliterasi. Kalau,
diteruskan sampai ke akhir larik, walaupun hanya berupa deretan kata-kata,
masih terlihat persamaan bunyi yang memaniskan irama pada waktu membacanya.
2)
Korespondensi. Korespondensi
ialah kesinambungan makna antarkata, antarlarik dalam puisi tersebut. Adalah
kesinambungan makna antarkata dalam puisi 1943?
Larik (1), (2), (3), (4), (5), terdiri atas kalimat dan
selebihnya berupa deretan kata-kata saja. Larik yang berupa kalimat, jelas
memperlihatkan kesinambungan makna antarkata (1, 2, 3, 4, 5) tetapi larik yang
berupa deretan kata-kata perlu diteliti dengan seksama kesinambungan maknanya.
Perhatikan di bawah ini!
……..
candu
tumbang
tanganku menadah patah
terbenam
hilang
lumpuh
lahir
tegak
berderek
rubuh
runtuh
mengguruh
dan seterusnya
Setelah kata dalam larik tersebut merupakan kata kerja, kecuali, kata candu dan tanganku. Oleh karena itu, ungkapan peristiwa: tumbang, luluh,
terbenam, hilang, lumpuh, dan seterusnya. Apa yang tumbang, luluh dan
lain-lainnya? Untuk mencari itu perlu diadakan (dibuatkan parafrase terhadap puisi tersebut. Caranya adalah dengan membubuhkan kata-kata bantu, kata-kata
penghubung yang akan membantu memperjelas makna puisi tersebut. Kata-kata yang ditambahkan dinamakan di
dalam kurung supaya naskah asli
puisi tetap terlihat:
Contoh:
Racun (sudah) berada di reguk pertama
(sehingga) Membusuk rabu terasa di dada
(terasa) Malam kelam membelam
jalan (pun) kaku lurus. Putus
candu (pun)
(menjadi) tumbang
tanganku menadah patah
(jiwaku) terbenam
hilang
lumpuh
dan seterusnya
Itulah salah satu cara untuk melihat kesinambungan makna
antarlarik, antartkata. Penambahan kata-kata penghubung tersebut bisa saja
berbeda antarpengamat, asalkan makna puisi tersebut tetap terlihat. Cara
tersebut dinamakan parafrase atau memprosakan bentuk puisi dengan tidak
mengubah teks puisi sebenarnya.
3.
Gaya bahasa. Gaya bahasa yang akan
digunakan penyair dalam mengintensifkan tujuan penulisannya. Hal itu akan
terlihat dari pilihan katanya, atau kosakata yang dipergunakannya. Perhatikan
larik:
- Tenggelam darah dalam nanah -
Kalau darah sudah tenggelam dalam nanah, berarti dalam
tubuh manusia jauh lebih banyak nanah daripada darah. Bayangkan kalau terjadi
hal yang seperti itu. Jelas kehidupan yang seperti itu membayangkan kehidupan
yang sudah sangat parah, sangat menyedihkan. Untuk menyatakan kehidupan yang
seperti itu, penyair tidak mempergunakan kata-kata biasa, seperti: kehidupan yang parah; kehidupan yang sangat
menyedihkan; dan lain-lain, tetapi diungkapkan dengan cara perbandingan;
yaitu dengan membayangkan tenggelam (nya)
darah dalam nanah. Inilah gaya penyair yang
menyatakan sesuatu tidak secara langsung, tetapi dengan melalui perbandingan
atau kiasan. Kiasan yang dipergunakan penyair bertujuan untuk menghidupkan
lukisan yang diungkapkan; dlaam hal ini lukisan tentang kehidupan masyarakat yang sangat parah, sangat
menyedihkan. Dalam puisi 1943 ini banyak terdapat gaya bahasa yang dipergunakan penyair.
Perhatikan larik-larik:
-
malam kelam membelam
-
luluh
-
terbenam
-
hilang
-
lumpuh
Kata-kata pada setiap larik saling menunjang,
memperkuat, mempertajam makna. Malam kelam membelam, memperlihatkan gaya bahasa repetisi, disamping
memperlihatkan gaya
aliterasi. Demikian juga larik luluh,
terbenam, hilang, lumpuh
memperlihatkan makna yang saling mempertajam suasana kehancuran yang dirasakan
masyarakat pada masa itu. Demikian juga dengan makan kata pada tiap larik berikutnya,
sehingga sampai kepada makna utuh puisi tersebut.
Semua unsur puisi tersebut berbicara kepada pembaca
(penikmat puisi) sehingga pembaca sampai pada kesan tertentu terhadap tema yang
diungkapkan penyair. Apakah akan timbul rasa
bangga, rasa kagum, rasa haru, rasa benci, rasa marah, tentunya tergantung
pada kepekaan pikiran dan perasaan penikmat puisi terhadap permasalahan yang
diungkapkan penyair. Yang jelas bahwa melalui karya sastra, dalam hal ini
puisi, pembaca akan memperoleh sesuatu. Kesan tentang isi puisi tidak mungkin
dapat diperoleh dari membaca hanya sebagian kutipannya saja, tetapi dari
keseluruhan (keutuhan) karya. Membaca penggalan puisi belum dapat membayangkan
makna utuh puisi tersebut. Oleh karena itu, dengan membaca berulang-ulang puisi
yang akan diapresiasikan, mutlak diperlukan bagi seorang pengapresiasi. Setiap
dibaca puisi tersebut akan memberikan kesan yang lebih dalam dan lebih luas
dari sebelumnya. Keseluruhan unsur yang terdapat dalam karya yang bersangkutan,
akan memberikan kesan kepada orang yang mengapresiasikannya. Demikian salah
satu cara mengapresiasikan puisi
diantara sekian banyak cara apresiasi lainnya. Dari hasil apresiasi terhadap
puisi 1943, anda akan memperoleh
klesan tertentu tentang suasana pada masa tahun 1943. angka 1943 jelas
memperhatikan angka tahun dan angka itu sangat berarti bagi bangsa Indonesia
yang masih berada di dalam cengkeraman penjajah Jepang. Apresiasi terhadap
puisi lainnya juga dapat anda lakukan dengan cara yang sama.
Puisi 1943 adalah salah satuh puisinya yang
asli. Dari catatannya yang diperoleh H.B. Yasin, sajak asli Chairil Anwar
adalah 69 judul, saduran 4 judul, terjemahan 10 judul. Di samping puisi,
Chairil Anwar juga pernah menulis prosa yaitu 6 judul prosa asli dan 4 prosa
terjemahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar